Tanah Kacacahan
Pada masa kerajaan Talaga Manggung tidak ada istilah Kepala Desa atau Kepala Kampung tapi yang memimpin sebuah desa itu adalah orang yang masih keturunan priyayi atau yang disepuhkan/berilmu yang biasa disebut Dalem/Embah. Selanjutnya pada masa penjajahan Belanda pemimpin sebuah desa itu di sebut Demang.
Belanda masuk ke Indonesia tahun 1596 di Banten, ke Talaga Mangung tahun 1715 dan merubah Talaga Manggung jadi Kabupatian Talaga pada tahun 1818, lalu tanggal 11 Februari 1840 Belanda mengalihkan Kabupatian ke Sindangkasih dengan nama Kabupaten Majalengka dan Talaga menjadi Kawedanaan dan desa Cikijing masuk Kawedanaan Talaga.
Menurut cerita para orang tua, setelah Talaga Manggung berubah statusnya jadi Kawedanaan, area pesawahan bekas danau yang biasa di sebut Sawahlega/Tegal dibagi-bagikan ke desa-desa sekitar termasuk desa Cikijing, penduduknya diberi tanah kacacahan hak guna pakai dari pemerintah, luasnya tergantung harkat dan martabat penduduknya, namun kesininya tanah tersebut harus dibeli dibawah harga pasaran. Makanya sekarang di Sawahlega itu ada sawah milik desa talaga, cikijing, kancana, cilangcang, cidulang, sukasari, dst.
Penjajahan Belanda
Jejak-jejak penjajah Belanda di desa Cikijing sekarang sudah sulit ditemukan mungkin karena desa Cikijing waktu itu bukan pusat kota hanya jalur transit dan perbatasan saja. Sebagai jalur transit, Belanda membutuhkan infrastruktur jalan untuk keperluan mereka dari Cirebon, Kuningan ke Ciamis, Tasik, Majalengka dan Sumedang. Belanda membangun jalan raya di Cikijing tahun 1820/1830 mulai dari arah Kuningan sampai Talaga dan kearah Panjalu, ini terlihat dari peta buatan belanda yang di sana tergambar rencana pelebaran jalan dan pada peta tahun 1857 terlihat jalan mulai dari Talaga ke Bantarujeg dan Majalengka masih dalam proses pengerjaan.
Potongan Peta Belanda Th. 1820 Sumber: anri.go.id |
Potongan Peta Belanda Th. 1857 |
Belanda hanya mendirikan pos penjagaan atau markas kecil di sebelah timur desa Cikijing yang sekarang menjadi Kantor Pos Cikijing sayang sekarang bangunannya di rombak total dengan gaya yg lebih modern. Ketika meletusnya perang kemerdekaan penduduk Cikijing biasa mengungsi ke Pasir Rompang dan G. Pagenteran.
Pimpinan Desa
Pimpinan sebuah desa itu banyak sebutannya dimasa kerajaan ada Dalem, Uyut, Embah, atau Eyang yang jelas yang dianggap ketrunan bangsawan atau yang berilmu tinggi. Dimasa penjajahan Belanda pimpinan sebuah desa itu dinamakan Demang, namun secara nonformal nama pemimpin sebuah desa juga tergantung budaya daerahnya misalnya daerah Cirebon nama pemimpin sebuah desa itu adalah Kuwu, termasuk di desa cikijing juga walaupun sekarang secara legal formal disebut Kepala Desa (Kades) tetap saja secara budaya disebutnya Kuwu.
Desa Cikijing menurut berbagai sumber diantaranya informasi dari Bp. U. Suryono (Alm) salah satu tokoh yang dulunya aktif diberbagai bidang (Keagamaan,Pendidikan, Organisasi, Pemerintahan) yang ditanya cucunya ketika ia menyusun paper tugas sekolah SMA tercatat pemimpin Desa Cikijing diantaranya: Eyang Nalagati, Buyut Kawija (1918-1926), Nurmawi (1926-1934), Sutia (1934-1942), Hasan Ali (1942-1950), Sutiam (1950-1958), A. Memed (1958-1966), K.H. Madsuri (1966-1979), A. Memed (1979-1983), Kapten Taryan (1983-1985) Kartiker, Yos Sunaryo (1985-1986) Pejabat, Yos Sunaryo (1986-9194), U. Sunarya (1994-1996) Pejabat, M. Sukanda (1996-1998) Pejabat, Mokh. Syihabudin, SH. (1998-2007), H. Ahmad Masduki (2008-2014) informasi ini saya dapatkan dari salinan papernya. Setelah itu dilanjutkan oleh Priyatna (2014-2015) Pejabat, dan H. Lili Solihin (2015 – Sekarang).
Benda Pusaka
Menurut putra Bp. Lebe Ganda yaitu Dudung Abdul Karim yang saya temui dan bertanya langsung tahun 2013, menurutnya sebelum masa merdeka, pergantian pimpinan desa Cikijing diadakan secara seremonial penyerahan benda pusaka berupa Pedang dan Buku. Pada masa penjajahan benda pusaka ini dicari-cari Belanda yang butuh datanya untuk menangkap pejuang dan ulama di desa Cikijing, demi keamanan akhirnya benda pusaka ini di sembunyikan dengan cara di kubur di Pasir Rompang dan belum ditemukan. Ada juga yang menyebut sudah diketemukan dan bukunya beak ku rinyuh hehehe…
Saya pribadi menelusuri ke salah satu titik di Pasir Rompang di jumpai di sana memang ada bekas galian yang besar seperti lubang kubur yang sudah lama, yang mungkin saja ulah dari usaha para pencari waktu –waktu dulu hehehe… (hr)
Berlanjut ke Cacarita Desa Cikijing (3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar