Kamis, 05 November 2020

Kebun Teh Citaman di Kaki Gunung Ciremai


Ternyata kaki Gunung Ciremai sebelah selatan itu dahulunya dipakai perkebunan teh oleh Belanda, bahkan mereka mendirikan pabrik pengolahan tehnya di Argalingga. Pengusaha-pengusaha belanda waktu itu setelah mendengar kabar tentang kesuburan tanah kita berlomba untuk mendapatkan ijin mengelola daerah­-daerah untuk bisnis mereka, belanda membangun infrastruktur di kita itu memang karena untuk memuluskan bisnis warga mereka di negara kita.

Lahan bekas kebun teh Citaman

Disebutkan yang mendapat ijin perkebunan teh di Argalingga itu adalah sebuah PT yang berasal dari Amsterdam yaitu naamloze vennootschap AMSTERDAM THEE CULTUUR MAATSCHAPPIJ didirikan di Amsterdam pada tanggal 9 Februari 1911 dengan direksinya O.C. Boutmy, C.A. Broms, Mr. A.f'. va n Hall, J. Vorstelman en J.F. de Bea ufort. Mereka membuat kantor perwakilan administrasinya di Bandung sedangkan untuk memimpin pengelolaannya mereka menunjuk seorang Administratur yaitu C.F.J. Chaulan. Adapun wilayah perkebunan Og. Argalingga meliputi 3 lokasi: Argalingga, Cibunut, dan Citaman.

Peta tahun 1944 menunjukan kebun teh; sumber: universiteitleiden.nl

Perkebunan teh Citaman diperkirakan memiliki luas 70 hektar lebih yang berada di 3 dusun, sekarang secara administratif masuk 3 kecamatan yaitu Barujaksi/Tamanbaru (Banjaran), Citaman (Talaga), dan Ciinjuk (Cikijing). Daerah perkebunan ini memiliki pemandangan yang indah, dari kaki G. Ciremai ini kita bisa melihat Wd. Darma di timur, G. Cijolang, G. Guntur di selatan, dan G. Cakrabuana, G. Tampomas di barat.

Erpah dan Tangsi

Jika kita main ke dusun Citaman, perkebunan teh ini sudah tidak ada dan berubah menjadi lahan pertanian, penduduk disini biasa menanam kentang, cengek, kol, bawang daun, dan wortel. Berbincang-bincang dengan penduduk setempat pasti mereka menyebut Erpah untuk lahan bekas perkebunan teh ini, saya tidak tahu mengapa masyarakat kaki gunung ciremai itu rata-rata menyebutnya erpah bukan Kebon Enteh. Erpah adalah sistem sewa tanah secara turun temurun, apakah ini maksudnya hak kepemilikan tanah waktu jaman kebun teh yang dikelola perusahaan, atau setelah kebun teh lalu diambil masyarakat dengan system erpah, sebab memang kebanyakan masyarakat kaki gunung ciremai memiliki tanah secara turun temurun dari kakek buyutnya.

Menurut cerita penduduk setempat, di Citaman ini dulu ada pabrik teh yang mungkin merupakan cabang dari Pabrik Argalingga, lokasinya tepat di seberang G. Putri di pungungan bukit, sekarang pinggir jalan arah ke Buper B5, para pemetik menyetor hasil petikannya ke pabrik ini, sedangkan yang bekerja di perkebunan teh ini adalah penduduk dari berbagai desa, makanya di erpah ini ada blok blok dengan mengambil nama desa-desa, itu menandakan desa asal pekerjanya, mereka diupah murah oleh perusahaan.

Lahan bekas pabrik teh Citaman

Dikarenakan perkebunan ini memakai system tanam paksa, pemerintah Hindia Belanda secara khusus menempatkan pasukannya untuk menjaga perkebunan ini, makanya di daerah Citaman ada daerah yang disebut Tangsi, lokasinya kalau dari desa Gunungmanik pas awal masuk dusun Citaman, tangsi kalau jaman dulu adalah markas militer

Dulu waktu kecil saya tahunya kebun teh di Kabupaten Majalengka itu hanya ada di Lemahsugih dan Sadarehe saja karena memang daerah itu sekarang masih ada perkebunan tehnya, ternyata di wilayah kecamatan Cikijing khususnya juga pernah ada. (hr)

Senin, 02 November 2020

Embung Yang Hilang di Ciroke Cingambul

Ciroke merupakan salah satu dusun yang secara administrative masuk ke Desa Cidadap Kecamatan Cingambul Kabupaten Majalengka. Posisinya berada di pinggir Danau Purba Cikijing/Sawahlega/Sawahtegal.

Lokasi Embung jaman dulu

Mayoritas penduduknya adalah bertani dengan pesawahan tadah hujan, jadi jika musim kemarau maka banyak pesawahan berubah jadi tegalan atau kalaupun mau bercocok tanam pada musim kemarau, penduduknya terpaksa harus menyedot air dengan menggunakan mesin pompa dari Sungai Cilutung di daerah Jatipamor yang posisinya di seberang pesawahan berjarak 1,8 km.

Jarak pengambilan air dari Sungai Cilutung

Masa penjajahan, pemerintahan Hindia Belanda ternyata mereka juga banyak membangun infrastruktur di wilayah kita, bahkan mereka mempetakannya secara detail tentang kondisi alam di sekitar kita. Di Ciroke berdasarkan peta Belanda tahun 1925 di sana tergambar jelas bahwa tahun itu ada sebuah Embung (kolam penampung air untuk pengairan) yang besar dengan luas kurang lebih 4,5 hektar di area pesawahan pinggir pemakaman.

Peta Belanda 1925, Bukti adanya Embung

Peta 1944; bukti Embung sudah tidak ada

Ini menandakan bahwa di Ciroke itu dari dulu membutuhkan sumber pengairan untuk pertanian. Namun sayang entah karena apa di peta tahun 1944 embung tersebut sudah tidak ada, dan yang tersisa hanya tinggal saluran airnya saja, sedangkan embung sudah berubah menjadi area pesawahan.

Pengaturan saluran air, salah satunya dari Embung

Saluran pengairan Sumur PUPR

Sekarang di area tersebut juga sudah tersedia saluran pengairan dari Sumur Bor PUPR, namun menurut pendudukan setempat, apabila sumur bor dihidupkan untuk pengairan pertanian, maka dampaknya sumur pompa air yang diperumahan penduduk jadi kering, akhirnya jarang digunakan dan sebagian penduduk kembali lagi menyedot air dari sungai Cilutung dan sebagian membiarkan sawahnya jadi tegalan sampai musim hujan datang. hr